| Petitum Permohonan |
Adapun yang menjadi alasan permohonan Pemohon adalah sebagai berikut:
- DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN
a. Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.
b. Bahwa sebagaimana diketahui dalam KUHAP Pasal 1 angka 10 menyatakan:
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
- Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
- Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
- Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”
c. Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
- sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
- ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
d. Dalam perkembangannya pengaturan praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penggeledahan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (Alm.) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.
e. Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, penggeledahan, seperti pada kutipan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut:
Mengadili,
Menyatakan:
- Mengabulkan Permohonan untuk sebagian:
- [dst]
- [dst]
- Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan, dan Penyitaan;
- Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan, dan Penyitaan;
f. Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka, Penggeledahan merupakan bagian dari wewenang praperadilan. Mengingat putusan mahkamah konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.
II. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
- TERMOHON TIDAK PERNAH MELAKUKAN PENGGELEDAHAN
- Bahwa melalui Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mengabulkan sebagian permohonan dimana salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan yang menyatakan Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan, dan Penyitaan.
- Bahwa KUHAP mengatur dua bentuk tindakan penggeledahan, yaitu dalam keadaan biasa dan dalam keadaan mendesak. Dalam keadaan biasa, penggeledahan harus dilakukan berdasarkan izin tertulis dari ketua pengadilan negeri setempat sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (1) KUHAP. Sebaliknya, dalam keadaan mendesak, KUHAP memberikan pengecualian: tindakan penggeledahan dapat dilakukan tanpa izin terlebih dahulu dari ketua pengadilan negeri setempat, namun setelah tindakan tersebut dilakukan, aparat penegak hukum wajib segera meminta persetujuan kepada ketua pengadilan negeri setempat sebagaimana ketentuan Pasal 34 KUHAP.
- Bahwa penggeledahan berdasarkan bentuknya terdiri dari 2 (dua), yakni penggeledahan badan dan penggeledahan rumah. Meski keduanya memiliki tujuan yang sama, untuk mencari benda yang berhubungan tindak pidana, namun tempat pelaksanaan dan subjek yang berwenang jauh berbeda. Penggeledahan badan merupakan bentuk penggeledahan yang dilakukan kepada pakaian seseorang yang diduga melakukan atau setidak-tidaknya memiliki alasan yang kuat berhubungan dengan tindak pidana. Tidak hanya terhadap pakaian, penggeledahan badan pula dapat dilakukan terhadap rongga tubuh manusia, yang tentunya dalam pelaksanaannya mengikuti penjelasan Pasal 37 KUHAP. Bentuk penggeledahan ini dapat dilakukan tanpa adanya surat izin perintah dari pengadilan. Kendati demikian, pelaksanaan geledah badan justru mewajibkan adanya berita acara geledah yang dilakukan (Pasal 75 ayat (1) KUHAP yang mewajibkan adanya pembuatan berita acara pada saat penggeledahan dilakukan. Terdapat pemisahan penyebutan antara penggeledahan dengan pemasukan rumah yang merupakan bentuk dari penggeledahan rumah).
- Bahwa selain penyidik, penyelidik pula berwenang untuk melakukan penggeledahan badan. Hal ini bermakna bahwa kendatipun tanpa surat perintah penyelidik atas dasar kecurigaan semata dapat melakukan geledah badan kepada seseorang. Sebaliknya, penggeledahan rumah hanya dapat dilakukan dengan surat perintah pengadilan, dan harus disaksikan oleh dua warga setempat. Jika pemilik rumah menolak atau tidak hadir, penggeledahan harus didampingi oleh kepala desa atau ketua lingkungan. Akan tetapi, jika pemilik rumah tidak berkenan untuk digeledah atau tidak hadir, maka penggeledahan selain dihadiri saksi pula harus didampingi oleh kepala desa atau ketua lingkungan tempat penggeledahan dilakukan.
- Bahwa menurut Pasal 34 ayat (1) KUHAP dalam “keadaan mendesak,” penggeledahan dapat dilakukan tanpa izin pengadilan, tetapi hanya dilakukan “pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dan yang ada di atasnya, pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada, di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya, atau di tempat penginapan dan tempat umum lainnya.” Meski tidak ada izin dari pengadilan, namun setelah melakukan penggeledahan menurut Pasal 34 ayat (2) KUHAP wajib memperoleh persetujuan penggeledahan. Selain itu, penggeledahan tidak boleh dilakukan di ruang sidang “MPR, DPR, tempat ibadah, atau ruang sidang pengadilan, kecuali dalam keadaan tertangkap tangan” sebagaimana Pasal 35 KUHAP.
- Bahwa KUHAP mengatur ketentuan penggeledahan dalam BAB V bagian ketiga, dengan beberapa ketentuan tambahan di bab lain yang bersifat suplementer. Pembatasan yang diberikan KUHAP bertujuan mencegah kesewenang-wenangan penyidik, karena penggeledahan pada dasarnya melanggar hak-hak sipil. Maka, setiap tindakan tersebut harus melalui mekanisme yang jelas dan melibatkan pengadilan sebagai fungsi kontrol.
- Bahwa sebagaimana diketahui sejak Pemohon diamankan oleh Anggota Komando Rayon Militer (Koramil) Empang Kabupaten Sumbawa yang menggunakan pakaian dinas dan preman pada hari Rabu tanggal 29 Oktober 2025 lalu, kemudian Pemohon oleh Termohon dilakukan pemeriksaan dan dilakukan penangkapan sesuai Surat Perintah Penangkapan Nomor SP. Kap/93/X/2025/Sat Res Narkoba tanggal 29 Oktober 2025, kemudian dilakukan penahanan terhadap Pemohon selama 20 (dua puluh) hari sesuai Surat Perintah Penahanan Nomor SP. Han/63/XI/2025/Sat Res Narkoba tanggal 2 November 2025, lalu Pemohon diperiksa sebagai Tersangka dan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan atas nama Tersangka Heriansyah alias Rian Ak. M. Ilyas (Alm.) tanggal 2 November 2025 yang dilakukan oleh AKP Dilia Pria Firmawan, S.T.K., S.IK. selaku Penyidik Satresnarkoba Polres Sumbawa dan Bripka Anwar, S.H. selaku Penyidik Pembantu Satresnarkoba Polres Sumbawa, kemudian diterbitkannya Surat Perintah Perpanjangan Penahanan Nomor SP. Han/63. b/XI/2025/Sat Res Narkoba tanggal 22 November 2025 terhadap Pemohon selama 40 (empat puluh) hari, Pemohon sama sekali tidak pernah dilakukan penggeledahan oleh Termohon selaku Penyidik. Hal ini dapat dibuktikan dengan tidak adanya surat izin maupun surat persetujuan penggeledahan dari Ketua Pengadilan Negeri Sumbawa Besar kepada Termohon terhadap diri Pemohon maupun rumah, tempat lain, di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya, di tempat penginapan dan tempat umum lainnya.
- Bahwa dengan demikian jelas tindakan Termohon dengan tidak melakukan penggeledahan dalam melakukan proses hukum terhadap Pemohon merupakan perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan terhadap Pemohon dan cacat hukum, bahkan barang bukti yang diamankan yang sepatutnya dijadikan dasar sebagai Alat Bukti sebagaimana Pasal 184 KUHAP adalah tidak berdasar hukum.
- PEMOHON TIDAK PERNAH MENERIMA SURAT PERINTAH DIMULAINYA PENYIDIKAN (SPDP)
- Bahwa surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) diterangkan pada Pasal 109 ayat (1) KUHAP yang berbunyi “Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum”.
- Bahwa melalui Putusan Nomor 130/PUU-XIII/2015, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menyatakan Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum” tidak dimaknai “penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan”.
- Bahwa terhadap SPDP acuannya adalah adanya prinsip due process of law yang harus dipenuhi. Due Process of law: The conduct of legal proceedings according to established rules and principles for the protection and enforcement of privat right, including notice and the right to a fair hearing beforing a tribunal with the power to decide the case (Black’s law dictionary). Pemberitahuan dimulainya suatu proses hukum merupakan hak konstitusional yang dijamin pelaksanaannya oleh aparatur hukum sehingga SPDP sebagai bagian dari prosedur hukum perlu dipastikan pelaksanaannya.
- Bahwa selain itu telah terdapat putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak terlapor dalam hal ini tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat mengadili terkait keabsahan kewajiban memberitahukan dan menyerahkan SPDP kepada terlapor dalam hal ini tersangka seperti yang terdapat dalam Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 71/Pid.Pra/2017/PN Jkt.Sel yang berbunyi “apabila tidak didalilkan ke dalam permohonan berarti pemohon menganggap tentang surat pemberitahuan dimulainya penyidikan bukan perkara yang substansial sehingga alasan tersebut ditolak”.
- Bahwa seperti diketahui terhadap perkara Pemohon, Termohon telah mengirimkan SPDP kepada penuntut umum pada tanggal 3 November 2025, akan tetapi SPDP tersebut tidak pernah diberitahukan dan diserahkan kepada Pemohon sebagai terlapor.
- Bahwa dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat di atas, kegiatan Termohon yang tidak memberitahukan dan menyerahkan SPDP kepada Pemohon padahal diketahui hal tersebut merupakan suatu kewajiban merupakan perbuatan yang sewenang-wenang bahkan melanggar undang-undang yang dilakukan oleh Termohon sehingga penyidikan yang dilakukan oleh Termohon sudah dapat dinyatakan tidak sah dan cacat hukum.
- PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM
- Bahwa Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negara pun telah menuangkan itu ke dalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Asasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan.
- Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semenjak Montesquieu mengeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.
- Bahwa Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam hukum pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’.
- Bahwa dalam hukum administrasi negara, badan/pejabat tata usaha negara dilarang melakukan penyalahgunaan pewenang. Yang dimaksud dengan penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan diluar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan diluar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaimana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).
- Bahwa bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi:
– ditetapkan oleh pejabat yang berwenang;
– dibuat sesuai prosedur; dan
– substansi yang sesuai dengan objek Keputusan;
Bahwa sebagaimana telah Pemohon uraikan di atas, bahwa penetapan tersangka Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan-perundang undangan yang berlaku.
- Bahwa dengan melihat fakta yang dialami oleh Pemohon, baik pada saat dilakukan upaya paksa oleh Anggota Komando Rayon Militer (Koramil) Empang Kabupaten Sumbawa yang menggunakan pakaian dinas dan preman pada hari Rabu tanggal 29 Oktober 2025 lalu dengan mengamankan beberapa barang bukti yang dirampas atau digledah dikediaman Pemohon adalah bentuk kesewenang-wenangan yang tidak berdasar hukum bahkan sampai dengan ditetapkannya Pemohon sebagai Tersangka dalam perkara a quo merupakan suatu penistaan yang tercela bagi diri Pemohon, karena tidak mengimplementasikan suatu kepastian hukum sebagaimana hukum pembuktian dalam Pasal 184 KUHAP. Sehingga dasar penetapan Tersangka atas dasar terpenuhinya minimal 2 alat bukti yang cukup adalah tidak sah & mengikat.
- Bahwa sehingga apabila sesuai dengan ulasan Pemohon dalam Permohonan a quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut:
- “Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah”
- “Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan”
- Bahwa berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Hakim Praperadilan Pengadilan Negeri Sumbawa Besar yang mengadili perkara a quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.
III. PETITUM
Berdasar pada argumen dan fakta-fakta yuridis di atas, Pemohon mohon kepada Hakim Praperadilan Pengadilan Negeri Sumbawa Besar yang mengadili perkara a quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut:
- Mengabulkan permohonan Praperadilan Pemohon untuk seluruhnya;
- Menyatakan tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka dengan dugaan memiliki, menyimpan, menguasai, menerima, menjual, dan permufakatan jahat Tindak Pidana Narkotika jenis sabu, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (1) jo. Pasal 112 ayat (1) jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika oleh Satuan Reserse Narkoba Kepolisian Resor Sumbawa adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
- Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon;
- Menyatakan tindakan Termohon melakukan penyidikan terhadap Pemohon sebagai tersangka dengan dugaan memiliki, menyimpan, menguasai, menerima, menjual, dan permufakatan jahat Tindak Pidana Narkotika jenis sabu, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (1) jo. Pasal 112 ayat (1) jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika oleh Satuan Reserse Narkoba Kepolisian Resor Sumbawa adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penyidikan a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
- Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon;
- Membebaskan Pemohon segera dari tahanan setelah Putusan permohonan Praperadilan tersebut dibacakan;
- Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
- Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.
PEMOHON sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Hakim Praperadilan Pengadilan Negeri Sumbawa Besar yang mengadili dan memberikan putusan terhadap perkara a quo dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.
Apabila Yang Terhormat Hakim Praperadilan Pengadilan Negeri Sumbawa Besar yang mengadili permohonan a quo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). |